PENGUKURAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA
ALAM
Ketika sumber daya alam sudah
terdefenisikan dan diketahui, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana
mengukur ketersediaan sumber daya tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk
mencoba mengukur ketersediaan sumber daya, sehingga banyak konsep pengukuran
sumber daya yang kadang sering membingungkan. Dalam buku ini, pengukuran sumber
daya kita sederhanakan dari konsep Rees (1990) yang membaginya kedalam beberapa
komponen. Pertama, untuk kelompok sumber daya stok (tidak terbarukan), beberapa
konsep pengukuran ketersediaan yang digunakan antara lain :
1. Sumber
daya hipotetikal. Adalah konsep pengukuran deposit yang belum diketahui namun
diharapkan ditemukan pada masa mendatang berdasarkan survei yang dilakukan saat
ini. Pengukuran sumber daya ini biasanya dilakukan dengan mengekstrapolasi laju
pertumbuhan produksi dan cadangan terbukti (proven reserve) pada periode
sebelumnya.
2. Sumber
daya spekulatif. Konsep pengukuran ini digunakan untuk mengukur deposit yang
mungkin ditemukan pada daerah yang sedikit atau belum dieksplorasi, dimana
kondisi geologi memungkinkan ditemukannya deposit.
3. Cadangan
kondisional (conditional reserves). Adalah deposit yang sudah diketahui atau
ditemukan namun dengan kondisi harga output dan tekhnologi yang ada saat ini
belum bisa dimanfaatkan secara ekonomis.
4. Cadangan
terbukti (proven resource). Adalah sumber daya alam yang sudah diketahui dan
secara ekonomis dapat dimanfaatkan dengan tekhnologi, harga, dan permintaan
yang ada saat ini.
Untuk
jenis sumber daya dapat diperbarui (flow) ada beberapa konsep pengukuran
ketersediaan yang sering digunakan. Pengukuran tersebut antara lain:
a. Potensi
maksimum sumber daya
Konsep ini didasarkan
pada pemahaman untuk mengetahui potensi atau kapasitas sumber daya guna
menghasilkan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu. Pengukuran ini
biasanya didasarkan pada perkiraan- perkiraan ilmiah atau teoretis. Misalnya,
diperkirakan bahwa bumi mempunyai kapasitas untuk memproduksi sekitar 40 ton
pangan per orang per tahun (rees, 1990). Pengukuran potensial maksimum lebih
didasarkan pada kemampuan biofisik alam tanpa mempertimbangkan kendala social
ekonomi yang ada.
b. Kapasitas
lestari (sustainable capacity/ sustainable yield)
Kapasitas lestari atau
produksi lestari (sustainable yield) adalah konsep pengukuran keberlanjutan
dimana ketersediaan sumber daya diukur berdasarkan kemampuannya untuk
menyediakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi mendatang. Berkaitan
dengan sumber daya ikan misalnya, konsep ini sering dikenal sebagai sustainable
yield, di mana secara teoritis, alokasi produksi dapat dilakukan sepanjang
waktu jika tingkat eksploitasi dikendalikan. Demikian juga pada sumber daya
air, produksi lestari (sustainable yield) secara teoritis bisa dicapai jika laju
pengambilan (pumping rate) tidak melebihi rata- rata penurunan debit air
tahunan.
c. Kapasitas
penyerapan (Absorptive capacity)
Kapasitas penyerapan
atau kapasitas asimilasi adalah kemampuan sumber daya alam dapat pulih
(misalnya air, udara) untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia. Kapasitas
ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca dan intervensi manusia.
d. Kapasitas
Daya Dukung (Carrying Capacity)
Pengukuran kapasitas ini didasarkan
pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung
suatu pertumbuhan organism. Misalnya, ikan di kolam tumbuh secara positif jika
daya dukung lingkungan masih lebih besar. Namun, pertumbuhan yang terus menerus
akan menimbulkan kompetisi terhadap ruang dan makanan sampai daya dukung lingkungan
tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan.
PENGUKURAN KELANGKAAN
SDA
Salah satu aspek krusial dalam pemahaman terhadap
sumber daya alam adalah memahami juga kapan sumber daya tersebut akan habis.
Jadi, bukan hanya kosep ketersediaannya yang harus kita pahami, melainkan juga
konsep pengukuran kelangkaannya. Sebgaimana disampsaikan pada bagian pandangan
terhadap sumber daya alam, aspek kelangkaan ini menjadi sangat penting karena
dari sinilah kemudian muncul persoalan bagaimana mengelola sumber daya alam
yang optimal.
Secara umum, biasanya tingkat kelangkaan sumberdaya
alam diukur secara dengan menghitung sisa umur ekonomis. Hal ini dilakukan
dengan menghitung cadangan ekonomis yang tersedia dibagi dengan tingkat
ekstraksi. Pengukuran dengan cara ini tentu saja memiliki banyak kelemahan
karena tidak mempertimbangkan sama sekali aspek ekonomi didalamnya. Aspek
ekonomi ini antara lain menyangkutharga dan biaya ekstraksi sebagai contoh,
ketika sumberdaya menjadi langka, maka harga akan naik dan konsmsi akan berkurang.
Dengan berkurangnya konsumsi ekstraksi juga berkurang sehigga faktor pembagi
dalam pengukuran fisik diatas menjadi kecil. Hal ini bisa menimbulkan
kesimpulan yang keliru karena seolah-olah sisa ekonomis sumberdaya kemudian
menjadi panjang dan sumberdaya alam tidak lagi menjadi langka.
Menyadari akan kelemahan pengukuran fisik ini,
Hanley et al.,(1997) misalnya, menyarankan untuk menggunakan pengukuran moneter
dengan cara menghitung harga riil, unit cost dan rente ekonomi dari sumberdaya.
A.
Pengukuran Berdasarkan Harga Riil
Pengukuran kelangkaan yang didasarkan
pada harga riil sudah merupakan pengukuran yang banyak diterima berbagai pihak
dan merupakan standar pengukuran kelangkaan dalam ilmu ekonomi. Berdasarkan
standar teori ekonomi klasik, ketika barang menjadi berkurang kuantitasnya,
maka konsumen mau membayar dengan harga mahal untuk komoditas tersebut. Jadi,
tingginya harga barang dari sumber daya mencerminkan tingkat kelangkaan dari
sumber daya tersebut. Meski diterima sebagai pengukuran umum kelangkaan sumber
daya, pengukuran dengan harga riil juga memiliki kelemahan. Distorsi pasar yang
diakibatkan oleh intervensi pemerintah, misalnya, bisa saja menyebabkan harga
sumber daya naik. Sebagai contoh, kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk mengurangi subsidi menyebabkan harga BBM naik, tapi harga ini
bukan karena produksi yang berkurang, melainkan karena intervensi pemerintah.
Kedua, harga output dari sumber daya alam hanya mencerminkan harga pasar, namun
tidak mencerminkan biaya oportunitas sosial dari kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh ekstraksi sumber daya alam itu sendiri. Selain itu, penggunaan
deflator untuk mengukur harga riil.
- Tingginya harga barang mencerminkan kelangkaan relatif
- Pengukuran ini mengandung kelemahan karena kegagalan pasar à public good, intervensi pemerintah
Harga
output mencerminkan harga asar namun tidak mengukur biaya oportunitas sosial
dari kerusakan lingkungan akibat ekstraksi SDA
B. PENGUKURAN
BERDASARKAN UNIT COST
Pengukuran yang
menggunakan unit cost atau biaya per unit output (input) didasarkan pada
prinsip bahwa jika sumberdaya mulai
langka, biaya untuk mengekstraksinya juga menjadi semakin besar. Sebagai
contoh, jika nelayan mulai menyadari bahwa ikan sudah mulai susah di tangkap,
ia harus melaut kedaerah yang lebih jauh yang menyebabkan biaya tenaga kerja
per produksi meningkat. Salah satu contoh klasik pengukuran unit cost adalah
apa yang di lakukan oleh barrnet dan morse (1963) yang mengukur kelangkaan sumberdaya
berdasarkan index of real unit cost. Hasil studi bernet dan morse misalnya
tidak menunjukkan adanya kelangkaan sumberdaya kecuali untuk sumberdaya hutan.
Salah satu kelebihan dari penggunaan pengukutran ini adalah di masukkanya aspek
perubahan teknologi dalam produksi. Jika perubahan teknologi memungkinkan
produksi lebih efisien, biaya produsi akan menurun sehingga kecenderungan
penurunan unit biaya. Dengan kata lain, peningkatan sumberdaya dapat diukur
dengan peningkatan indeks dari real unit cost.
Meski pengukuran dengan cara ini pun
sangat logis, ada beberapa catatan yang harus diperhatkan. Pertama adalah
menyangkut kesulitan pengukuran capital yang di picu ole perkembangan dibidang
teknologi produksi. Kondisi ini muncul karena sulitnya mengagregasukan capital
untuk memperoleh unit pengukuran capital yang tepat. Kedua pengukuran unit cost
juga bias keliru jika aspek subtitusi terhadap input tidak diprhatikan.
Subtitusi ini sering terjadi manakala biaya satu jenis input lebih mahal
sehingga pelaku akan menggantikannya dengan input yang lain. Ketiga sebagaimana
dikatakan oleh hanley et al.,(1997), unit cost kurang baik digunakan sebagai
penduga kelaangkaan karena unit cost didasarkan pada informasi masa lalu, jadi
bukan forward looking, seperti melihat perkembangan teknologi dan sebagainya.
C. PENGUKURAN
BERDASARKAN RENTE KELANGKAAN (SCARCITY RENT)
Pengukuran
kelangkaan dengan scarcity rent didasarkan pada teori capital sumber daya
dimana rate of return manfaat yang diperoleh dari asset sumber daya alam, harus
setara dengan biaya oportunitas dari asset yang lain, seperti saham. Dengan
demikian, peningkatan nilai scarcity rent menunjukan tingkat kelangkaan sumber
daya alam. Scarcity rent didefinisikan sebagai selisih antara harga perunit
output dengan biaya ekstraksi marjinal atau sering disebut juga sebagai net
price. Prinsip dari konsep ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengukuran
berdasarkan harga riil, hanya saja yang diukur disini adalah harga bersih atau
net price.
Ada empat tipe pengukuran kelangkaan :
1. Malthusian Stock Scarcity
2. Malthusian Flow Scarcity
3. Ricardian Stock Scarcity
4. Ricardian Flow Scarcity
Tipologi Kelangkaan
Adapun
penjelasan mengenai tipe
pengukuran kelangkaan antara lain:
1.
Malthusian
Stock Scarcity : kelangkaan yag terjadi
jika stok dianggap tetap (terbatas) dan biaya ekstraksi per unit pada
setiap periode tidak bervariasi terhadap laju ekstraksi pada periode tersebut.
2.
Malthusian
Flow Scarcity : kelangkaan yang terjadi akibat interaksi antara stok yang
terbatas dan biaya ekstraksi per unit yang meningkat seiring laju eksptraksi
pada setiap periode.
3.
Ricardian
Flow Scarcity : tipe kelangkaan yang terjadi
jika stok sumberdaya alam dianggap tidak terbatas, namun biaya ekstraksi
tergantung pada laju ekstraksi pada periode t, dan juga ekstraksi kumuatif
sampai pada periode akhir ekstraksi.
4.
Ricardian
Stock Scarcity : kelangkaan yang terjadi dimana stok yang dianggap tidak
terbatas berinteraksi dengan biaya ekstraksi yang meningkat seiring dengan
ekstraksi kumulatif sampai periode akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi,
Ahmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan
Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Koerniawati, Tatiek. Sumber Daya Pertanian (bahan ajar dalam powerpoint).
Anonim.
2011. Klasifikasi
Dan Pengukuran Ketersdiaan Sumber Daya Alam. (diakses tanggal 11 Oktober 2011. http://www.scribd.com/doc/24752651/2-sumberdaya-alam-lingkungan)