Sabtu, 11 Februari 2012

EKONOMI SUMBER DAYA


PENGUKURAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA ALAM
     Ketika sumber daya alam sudah terdefenisikan dan diketahui, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengukur ketersediaan sumber daya tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk mencoba mengukur ketersediaan sumber daya, sehingga banyak konsep pengukuran sumber daya yang kadang sering membingungkan. Dalam buku ini, pengukuran sumber daya kita sederhanakan dari konsep Rees (1990) yang membaginya kedalam beberapa komponen. Pertama, untuk kelompok sumber daya stok (tidak terbarukan), beberapa konsep pengukuran ketersediaan yang digunakan antara lain : 
1.      Sumber daya hipotetikal. Adalah konsep pengukuran deposit yang belum diketahui namun diharapkan ditemukan pada masa mendatang berdasarkan survei yang dilakukan saat ini. Pengukuran sumber daya ini biasanya dilakukan dengan mengekstrapolasi laju pertumbuhan produksi dan cadangan terbukti (proven reserve) pada periode sebelumnya.
2.      Sumber daya spekulatif. Konsep pengukuran ini digunakan untuk mengukur deposit yang mungkin ditemukan pada daerah yang sedikit atau belum dieksplorasi, dimana kondisi geologi memungkinkan ditemukannya deposit.
3.      Cadangan kondisional (conditional reserves). Adalah deposit yang sudah diketahui atau ditemukan namun dengan kondisi harga output dan tekhnologi yang ada saat ini belum bisa dimanfaatkan secara ekonomis.
4.      Cadangan terbukti (proven resource). Adalah sumber daya alam yang sudah diketahui dan secara ekonomis dapat dimanfaatkan dengan tekhnologi, harga, dan permintaan yang ada saat ini.
Untuk jenis sumber daya dapat diperbarui (flow) ada beberapa konsep pengukuran ketersediaan yang sering digunakan. Pengukuran tersebut antara lain:
a.       Potensi maksimum sumber daya
Konsep ini didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui potensi atau kapasitas sumber daya guna menghasilkan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu. Pengukuran ini biasanya didasarkan pada perkiraan- perkiraan ilmiah atau teoretis. Misalnya, diperkirakan bahwa bumi mempunyai kapasitas untuk memproduksi sekitar 40 ton pangan per orang per tahun (rees, 1990). Pengukuran potensial maksimum lebih didasarkan pada kemampuan biofisik alam tanpa mempertimbangkan kendala social ekonomi yang ada.
b.      Kapasitas lestari (sustainable capacity/ sustainable yield)
Kapasitas lestari atau produksi lestari (sustainable yield) adalah konsep pengukuran keberlanjutan dimana ketersediaan sumber daya diukur berdasarkan kemampuannya untuk menyediakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi mendatang. Berkaitan dengan sumber daya ikan misalnya, konsep ini sering dikenal sebagai sustainable yield, di mana secara teoritis, alokasi produksi dapat dilakukan sepanjang waktu jika tingkat eksploitasi dikendalikan. Demikian juga pada sumber daya air, produksi lestari (sustainable yield) secara teoritis bisa dicapai jika laju pengambilan (pumping rate) tidak melebihi rata- rata penurunan debit air tahunan.
c.       Kapasitas penyerapan (Absorptive capacity)
Kapasitas penyerapan atau kapasitas asimilasi adalah kemampuan sumber daya alam dapat pulih (misalnya air, udara) untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia. Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca dan intervensi manusia.
d.      Kapasitas Daya Dukung (Carrying Capacity)
Pengukuran kapasitas ini didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organism. Misalnya, ikan di kolam tumbuh secara positif jika daya dukung lingkungan masih lebih besar. Namun, pertumbuhan yang terus menerus akan menimbulkan kompetisi terhadap ruang dan makanan sampai daya dukung lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan.
PENGUKURAN KELANGKAAN SDA
Salah satu aspek krusial dalam pemahaman terhadap sumber daya alam adalah memahami juga kapan sumber daya tersebut akan habis. Jadi, bukan hanya kosep ketersediaannya yang harus kita pahami, melainkan juga konsep pengukuran kelangkaannya. Sebgaimana disampsaikan pada bagian pandangan terhadap sumber daya alam, aspek kelangkaan ini menjadi sangat penting karena dari sinilah kemudian muncul persoalan bagaimana mengelola sumber daya alam yang optimal.
Secara umum, biasanya tingkat kelangkaan sumberdaya alam diukur secara dengan menghitung sisa umur ekonomis. Hal ini dilakukan dengan menghitung cadangan ekonomis yang tersedia dibagi dengan tingkat ekstraksi. Pengukuran dengan cara ini tentu saja memiliki banyak kelemahan karena tidak mempertimbangkan sama sekali aspek ekonomi didalamnya. Aspek ekonomi ini antara lain menyangkutharga dan biaya ekstraksi sebagai contoh, ketika sumberdaya menjadi langka, maka harga akan naik dan konsmsi akan berkurang. Dengan berkurangnya konsumsi ekstraksi juga berkurang sehigga faktor pembagi dalam pengukuran fisik diatas menjadi kecil. Hal ini bisa menimbulkan kesimpulan yang keliru karena seolah-olah sisa ekonomis sumberdaya kemudian menjadi panjang dan sumberdaya alam tidak lagi menjadi langka.
Menyadari akan kelemahan pengukuran fisik ini, Hanley et al.,(1997) misalnya, menyarankan untuk menggunakan pengukuran moneter dengan cara menghitung harga riil, unit cost dan rente ekonomi dari sumberdaya.
A.     Pengukuran Berdasarkan Harga Riil
           Pengukuran kelangkaan yang didasarkan pada harga riil sudah merupakan pengukuran yang banyak diterima berbagai pihak dan merupakan standar pengukuran kelangkaan dalam ilmu ekonomi. Berdasarkan standar teori ekonomi klasik, ketika barang menjadi berkurang kuantitasnya, maka konsumen mau membayar dengan harga mahal untuk komoditas tersebut. Jadi, tingginya harga barang dari sumber daya mencerminkan tingkat kelangkaan dari sumber daya tersebut. Meski diterima sebagai pengukuran umum kelangkaan sumber daya, pengukuran dengan harga riil juga memiliki kelemahan. Distorsi pasar yang diakibatkan oleh intervensi pemerintah, misalnya, bisa saja menyebabkan harga sumber daya naik. Sebagai contoh, kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi subsidi menyebabkan harga BBM naik, tapi harga ini bukan karena produksi yang berkurang, melainkan karena intervensi pemerintah. Kedua, harga output dari sumber daya alam hanya mencerminkan harga pasar, namun tidak mencerminkan biaya oportunitas sosial dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ekstraksi sumber daya alam itu sendiri. Selain itu, penggunaan deflator untuk mengukur harga riil.  

  • Tingginya harga barang mencerminkan kelangkaan relatif
  • Pengukuran ini mengandung kelemahan karena kegagalan pasar à public good, intervensi pemerintah
Harga output mencerminkan harga asar namun tidak mengukur biaya oportunitas sosial dari kerusakan lingkungan akibat ekstraksi SDA     
B.     PENGUKURAN BERDASARKAN UNIT  COST
            Pengukuran yang menggunakan unit cost atau biaya per unit output (input) didasarkan pada prinsip bahwa jika sumberdaya  mulai langka, biaya untuk mengekstraksinya juga menjadi semakin besar. Sebagai contoh, jika nelayan mulai menyadari bahwa ikan sudah mulai susah di tangkap, ia harus melaut kedaerah yang lebih jauh yang menyebabkan biaya tenaga kerja per produksi meningkat. Salah satu contoh klasik pengukuran unit cost adalah apa yang di lakukan oleh barrnet dan morse (1963) yang mengukur kelangkaan sumberdaya berdasarkan index of real unit cost. Hasil studi bernet dan morse misalnya tidak menunjukkan adanya kelangkaan sumberdaya kecuali untuk sumberdaya hutan. Salah satu kelebihan dari penggunaan pengukutran ini adalah di masukkanya aspek perubahan teknologi dalam produksi. Jika perubahan teknologi memungkinkan produksi lebih efisien, biaya produsi akan menurun sehingga kecenderungan penurunan unit biaya. Dengan kata lain, peningkatan sumberdaya dapat diukur dengan peningkatan indeks dari real unit cost.
            Meski pengukuran dengan cara ini pun sangat logis, ada beberapa catatan yang harus diperhatkan. Pertama adalah menyangkut kesulitan pengukuran capital yang di picu ole perkembangan dibidang teknologi produksi. Kondisi ini muncul karena sulitnya mengagregasukan capital untuk memperoleh unit pengukuran capital yang tepat. Kedua pengukuran unit cost juga bias keliru jika aspek subtitusi terhadap input tidak diprhatikan. Subtitusi ini sering terjadi manakala biaya satu jenis input lebih mahal sehingga pelaku akan menggantikannya dengan input yang lain. Ketiga sebagaimana dikatakan oleh hanley et al.,(1997), unit cost kurang baik digunakan sebagai penduga kelaangkaan karena unit cost didasarkan pada informasi masa lalu, jadi bukan forward looking, seperti melihat perkembangan teknologi dan sebagainya.

C.     PENGUKURAN BERDASARKAN RENTE KELANGKAAN (SCARCITY RENT)
           Pengukuran kelangkaan dengan scarcity rent didasarkan pada teori capital sumber daya dimana rate of return manfaat yang diperoleh dari asset sumber daya alam, harus setara dengan biaya oportunitas dari asset yang lain, seperti saham. Dengan demikian, peningkatan nilai scarcity rent menunjukan tingkat kelangkaan sumber daya alam. Scarcity rent didefinisikan sebagai selisih antara harga perunit output dengan biaya ekstraksi marjinal atau sering disebut juga sebagai net price. Prinsip dari konsep ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengukuran berdasarkan harga riil, hanya saja yang diukur disini adalah harga bersih atau net price.

 Ada empat tipe pengukuran kelangkaan :
1.      Malthusian Stock Scarcity
2.      Malthusian Flow Scarcity
3.      Ricardian Stock Scarcity
4.      Ricardian Flow Scarcity
                                        
Tipologi Kelangkaan
Adapun penjelasan mengenai tipe pengukuran kelangkaan antara lain:
1.      Malthusian Stock Scarcity : kelangkaan yag terjadi  jika stok dianggap tetap (terbatas) dan biaya ekstraksi per unit pada setiap periode tidak bervariasi terhadap laju ekstraksi pada periode tersebut.
2.      Malthusian Flow Scarcity : kelangkaan yang terjadi akibat interaksi antara stok yang terbatas dan biaya ekstraksi per unit yang meningkat seiring laju eksptraksi pada setiap periode.
3.      Ricardian Flow Scarcity : tipe kelangkaan yang terjadi  jika stok sumberdaya alam dianggap tidak terbatas, namun biaya ekstraksi tergantung pada laju ekstraksi pada periode t, dan juga ekstraksi kumuatif sampai pada periode akhir ekstraksi.
4.      Ricardian Stock Scarcity : kelangkaan yang terjadi dimana stok yang dianggap tidak terbatas berinteraksi dengan biaya ekstraksi yang meningkat seiring dengan ekstraksi kumulatif sampai periode akhir.


DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Ahmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Koerniawati, Tatiek. Sumber Daya Pertanian (bahan ajar dalam powerpoint).
Anonim. 2011. Klasifikasi Dan Pengukuran Ketersdiaan Sumber Daya Alam. (diakses tanggal 11 Oktober 2011. http://www.scribd.com/doc/24752651/2-sumberdaya-alam-lingkungan)

Tidak ada komentar: